THARIQAH ALAWIYYAH
Assalamualaikum
Wr. Wb.
Puji syukur
kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan hidayah, taufik, dan inayahnya
kepada kita semua. Sehingga saya bisa menjalani kehidupan ini sesuai dengan
ridhonya. Syukur Alhamdulillah saya dapat menyelesaikan makalah
ini sesuai dengan rencana. Yang ber- judul
“THARIQAH ALAWIYYAH”
Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Karena beliau adalah salah satu figur umat
yang mampu memberikan syafa’at kelak di hari kiamat.
Selanjutnya saya mengucapkan banyak terima kasih
kepada Bapak M. Nor Fuady selaku dosen pengajar mata kuliah Aqidah dan
tasawuf, yang telah membimbing saya. Saya mohon ma’af yang sebesar-besarnya
apabila dalam penulisan makalah ini terdapat banyak kesalahan didalamnya.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis umumnya dan khususnya bagi
pembaca. Amiiin...
Banjarmasin, Januari, 2012
Penyusun
SYARIFAH ZAINAB
PENDAHULUAN
Tarekat Alawiyyah, secara
umum, adalah tarekat yang dikaitkan dengan kaum Alawiyyin atau lebih dikenal
sebagai sa’adah atau kaum sayyid – keturunan Nabi Muhammad SAW – yang merupakan
lapisan paling atas dalam strata masyarakat Hadhrami. Karena itu, pada masa-masa
awal tarekat ini didirikan, pengikut Tarekat Alawiyyah kebanyakan dari kaum
sayyid (kaum Hadhrami), atau kaum Ba Alawi, dan setelah itu diikuti oleh
berbagai lapisan masyarakat muslim lain dari non-Hadhrami.
Tarekat Alawiyyah juga boleh dikatakan memiliki kekhasan tersendiri
dalam pengamalan wirid dan dzikir bagi para pengikutnya. Yakni tidak adanya
keharusan bagi para murid untuk terlebih dahulu diba’iat atau ditalqin atau
mendapatkan khirqah jika ingin mengamalkan tarekat ini. Dengan kata lain ajaran
Tarekat Alawiyyah boleh diikuti oleh siapa saja tanpa harus berguru sekalipun
kepada mursyidnya. Demikian pula, dalam pengamalan ajaran dzikir dan wiridnya,
Tarekat Alawiyyah termasuk cukup ringan, karena tarekat ini hanya menekankan
segi-segi amaliah dan akhlak (tasawuf ‘amali, akhlaqi). Sementara dalam tarekat
lain, biasanya cenderung melibatkankan riyadlah-riyadlah secara fisik dan
kezuhudan ketat.
BAB I
THARIQAH
‘ALAWIYYAH
A.
ARTI THARIQAH
Secara bahasa thariqah dapat berarti berjalan, metode, system, cara, pejalanan, aturan
hidup,
lintasan, garis, pemimpin sebuah suku dan sarana.1
Thariqah dalam arti jalan, dapat kita temuakan di
dalam beberapa ayat Al-Qur’an, diantaranya adalah wahyu Allah berikut:
وان لو استقاموا علي اطريقة لاسقناهم ماء
غدقا
Dan
bahwasanya: jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama
islam), benar-benar Kami akan memberi
minum kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak). (QS-Al-Jin,72:16)
وانا
منا الصالحون ومنا دون ذلك كنا طرائق قددا
Dan sesungguhnya di antara kami ada
orang-orang yang shaleh dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian
halnya. Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda. (QS-Al-Jin,72:11)
نحن اعلم بما يقولون اذ يقول امثلهم طريقة
ان لبثتم الا يوما
Kami lebih mengetahui apa yang mereka katakan, ketika berkata orang
yang paling lurus jalanya di antara mereka:
“Kamu tidak berdiam (di dunia) melainkan hanyalah sehari saja”. (QS-Thaha,20:104)
B.
SEJARAH THARIQAH ALAWIYYAH
Thariqah Alawiyyah adalah suatu thariqah yang ditempuh oleh para salafus sholeh. Dalam thariqah ini, mereka mengajarkan Al-Kitab (Al-Qur’an) dan As-Sunnah kepada masyarakat, dan sekaligus memberikan suri tauladan dalam pengamalan ilmu dengan keluhuran akhlak dan kesungguhan hati dalam menjalankan syariah Rasullullah SAW. Penjelasan di atas dinukil dari buku Qutil Qulub, karya Abul Qosim Al-Qusyairy, dan dari beberapa kitab lain. Mereka menerangkan dengan terinci, bahwa thariqah As-Saadah Bani Alawi ini diwariskan secara turun temurun oleh leluhur (salaf) mereka : dari kakek kepada kepada ayah, kemudian kepada anak-anak dan cucu-cucunya. Demikian seterusnya mereka menyampaikan thariqah ini kepada anak cucu mereka sampai saat ini. Oleh karenanya, thariqah ini dikenal sebagai thariqah yang langgeng sebab penyampaiannya dilakukan secara ikhlas dan dari hati ke hati. Dari situlah dapat diketahui, bahwasanya thariqah ini berjalan di atas rel Al-Kitab dan As-Sunnah yang diridhoi Allah dan Rasul-Nya.
Thariqah Alawiyyah ini menitik-beratkan pada
keseimbangan antara ibadah mahdhah, yaاitu
muamalah dengan Khaliq, dengan ibadah ghoiru mahdhah, yakni muamalah dengan
sesama manusia yang dikuatkan dengan adanya majlis-majlis ta’lim yang
mengajarkan ilmu dan adab serta majlis-majlis dzikir dan adab. Dengan kata
lain, thariqah ini mencakup hubungan vertikal (hubungan makhluk dengan
Khaliqnya) dan hubungan horizontal (antara sesama manusia).
Selain
itu, thariqah ini mengajarkan kepada kita untuk bermujahadah
(bersungguh-sungguh) dalam menuntut ilmu guna menegakkan agama Allah (Al-Islam)
di muka bumi. Sebagaimana diceritakan, bahwa sebagian dari As-Saadah Bani Alawi
pergi ke tempat-tempat yang jauh untuk belajar ilmu dan akhlak dari para ulama,
sehingga tidak sedikit dari mereka yang menjadi ulama besar dan panutan umat di
zamannya. Banyak pula dari mereka yang mengorbankan jiwa dan raga untuk
berdakwah di jalan Allah, mengajarkan ilmu syariat dan bidang ilmu agama
lainnya dengan penuh kesabaran, baik di kota maupun di pelosok pedesaan. Berkat
berpedoman pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, disertai kesungguhan dan keluhuran
akhlak dari para pendiri dan penerusnya, thariqah ini mampu mengatasi tantangan
zaman dan tetap eksis sampai saat ini. [Diambil dari Al-'Alam
An-Nibros, karya Al-Imam Abdullah bin Alwi Al-Atthas, hal. 1-5, penerbit 'Isa
Al-Khalabi Mesir]
Tarekat Alawiyyah juga merupakan salah satu tarekat mu’tabarah dari 41 tarekat yang
ada di dunia. Tarekat ini berasal dari Hadhramaut, Yaman Selatan dan tersebar
hingga ke berbagai negara, seperti Afrika, India, dan Asia Tenggara (termasuk
Indonesia). Tarekat ini didirikan oleh Imam Ahmad bin Isa al-Muhajir –
lengkapnya Imam Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad
al-Muhajir – , seorang tokoh sufi terkemuka asal
Hadhramat pada abad ke-17 M. Namun dalam perkembangannya kemudian, Tarekat
Alawiyyah dikenal juga dengan Tarekat Haddadiyah, yang dinisbatkan kepada Sayyid
Abdullah al-Haddad, selaku generasi penerusnya. Sementara nama “Alawiyyah”
berasal dari Imam Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir.
Tarekat Alawiyyah,
secara umum, adalah tarekat yang dikaitkan dengan kaum Alawiyyin atau lebih
dikenal sebagai sa’adah atau kaum sayyid – keturunan Nabi Muhammad SAW – yang
merupakan lapisan paling atas dalam strata masyarakat Hadhrami. Karena itu,
pada masa-masa awal tarekat ini didirikan, pengikut Tarekat Alawiyyah
kebanyakan dari kaum sayyid (kaum Hadhrami), atau kaum Ba Alawi, dan setelah
itu diikuti oleh berbagai lapisan masyarakat muslim lain dari non-Hadhrami.
Tarekat Alawiyyah
juga boleh dikatakan memiliki kekhasan tersendiri dalam pengamalan wirid dan
dzikir bagi para pengikutnya. Yakni tidak adanya keharusan bagi para murid
untuk terlebih dahulu diba’iat atau ditalqin atau mendapatkan khirqah jika
ingin mengamalkan tarekat ini. Dengan kata lain ajaran Tarekat Alawiyyah boleh
diikuti oleh siapa saja tanpa harus berguru sekalipun kepada mursyidnya.
Demikian pula, dalam pengamalan ajaran dzikir dan wiridnya, Tarekat Alawiyyah
termasuk cukup ringan, karena tarekat ini hanya menekankan segi-segi amaliah
dan akhlak (tasawuf ‘amali, akhlaqi). Sementara dalam tarekat lain, biasanya
cenderung melibatkankan riyadlah-riyadlah secara fisik dan kezuhudan ketat.2
C.
TENTANG THARIQAH ‘ALAWIYAH
Thariqah ‘Alawiyyah berasal dari kosakata ,yaitu Thariqah
dan ‘Alawiyyah. Di sini, Thariqah mempunyai beberapa arti, di antaranya,
sirah (sejarah atau perjalanan hidup, biografi) atau mazhab pemikiran
atau tradisi , dan ada juga yang menyamakan antara pengertian thariqah dengan
suluk . Jadi, dari sini dapat
dsiimpulkan bahwa kata thariqah dapat berarti kebiasaan atau
tradisi (sunnah) , sejarah
kehidupan (sirah), dan suatu organisasi (jama’ah). Oleh karena
itu, dari pengertiaan bahasa sebagaimana
diatas, penulis memandang ajaran-ajaran Syaikh Al-Haddad yang selama ini sudah memasyarakat bias
disebut dengan Thariqah Haddadiyyah. Sedangkan kosakata ‘Alawiyyah
berasal dari kata Ba ‘Alawi, yakni
suatu marga yang berasal dari Syaikh Muhammad bin ‘Alwi, yang dikenal
dengan julukan Ba ‘Alawi, dan dia masih keturunan Nabi Muhammad Saw,
dari cucu beliu, Husain r.a. bin Fatimah r.a. Istilah Thariqah ‘Alawiyyah
ini, menurut penulis berlaku sejak zaman Muhammad bin ‘Alawi Ba ‘Alawi, atau
pada daur yang kedua dalam sejarah kaum ‘Alawiyyah di Hadhramaut.
Dikalangan Ba’Alawi, kata tarekat dipahami sebagai suatu suluk
(cara ibadah) yg dilakukan oleh seseorang yang dipandang mempunyai kredibilitas
sebagai tokoh. Ketokohan disini terkait dalam masalah-masalah keagamaan dan
hubungannya dengan masalah-masalah kemasyarakatan secara luas.
Yang membedakan Thariqah ‘Alawiyyah dengan tarekat ialah perbedaan
di antara tokoh-tokoh mereka dalam banyak masalah, diantaranya tentang
masalah wirid. Hampir setiap tokoh mempunyai wirid sendiri, dan ini
tidak ditemukan dalam tradisi tarekat-tarekat yang ada. Selain itu, tidak ada
aturan khusus dalam mengamalkan wirid tersebut. Seandainya ada “syarat”
mendapat ijazah dalam mengamalkan suatu wirid, itu hanya merupakan afdhaliyyah
(keutamaan), bukan suatu keharusan. Disini tampak secara jelas bahwa Thariqah
‘Alawiyyah bukan tarekat, hanya suatu tradisi dari kalangan Ba ’Alawi dari
Hadhramaut, Yaman Selatan.
Hb. Abdullah Al-Haddad menerangkan bahwa Thariqah Ba’Alawi ialah
Thariqah-nya para sayyid dari keturunan ‘Ali (Al-’Alawiyyin) dari jalur Imam
Husain yang ada di Hadhramaut. Thariqah mereka berdasarkan Al-Qur’an, Al-
Sunnah, riwayat-riwayat yang benar, dan ajaran para salaf yang mulia. Para
salaf Ba’Alawi mempunyai keunggulan dibandingkan dengan lainnya karena mereka
mendapatkan ajaran sesuai dengan urutan nasab mereka, yakni dari anak, ke ayah,
kakek, dan begitu seterusnya kepada Nabi Saw.
Syaikh Al-Haddad melihat bahwa dari semua ajaran salaf Ba’Alawi,
dapat disimpulkan secara umum bahwa ajaran thariqah mereka ialah menekankan
adanya hubungan dengan seorang syaikh (guru pembimbing dalam ibadah), perhatian
secara seksama dengan ajarannya, dan membina batin/sirr (dengan ibadah). Selain
itu, thariqah ini juga menekankan pentingnya amal, dan untuk itu, dibutuhkan
suatu thariqah yang ajarannya mudah dilakukan dan dipahami oleh masyarakat awam
(pada umumnya).
Secara terperinci Syaikh Al-Haddad mengatakan bahwa hidup ini
adalah safar (sebuah perjalanan menuju Tuhan). Safar adalah suatu cara untuk
melakukan perlawanan terhadap hawa nafsu, dan sebagai media pendidikan moral.
Seorang Musafir membutuhkan empat hal. Pertama, ilmu yang akan membantu untuk
membuat strategi. Kedua, sikap wara’ yang dapat mencegahnya dari perbuatan
haram. Ketiga, semangat yang menopangnya. Keempat, moral yang baik yang
menjaganya.
Syaikh Ahmad bin Zain Al-Habsyi mengatakan bahwa thariqah mereka
menekankan pada ilmu dan amal, wara’ dan khauf (takut), serta ikhlas hanya
untuk-Nya. Kelima ajaran ini merupakan bagian penting dalam tahapan awal
seseorang menjadikan hatinya bersih dari berbagai macam penyakit hati hingga
diterima oleh Tuhannya.3
D.
AQIDAH DAN MADZHAB BANI ‘ALAWI
A.
AQIDAH
Aqidah merupakan bagian terpenting dalam kehidupan beragama. Di
zaman ini kita melihat telah muncul berbagai aqidah yang menyimpang dari ajaran
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa shahbihi wa sallam dan para
sahabatnya. Sebagai anak cucu Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa alihi wa
shahbihi wa sallam wajar jika kemudian masyarakat menanyakan apakah aqidah Bani
‘Alawi. Karena itulah para ulama senior Bani ‘Alawi selalu menjelaskan
aqidah mereka dalam buku maupun nasihat-nasihatnya. Ini mereka lakukan demi
melanjutkan niat suci Imam Ahmad bin ‘Isa, pendahulu mereka, yang berhijrah ke
Hadhramaut demi menyelamatkan aqidah anak cucunya.
Sejak awal Bani ‘Alawi beraqidah ahlussunnah wal jama’ah,
sebagaimana disampaikan oleh tokoh-tokoh mereka dari generasi ke generasi
hingga saat ini.
Habib ‘Abdullah bin Abu Bakar Al-Aydarus radhiyallahu ‘anhu
(w.865H) dalam bukunya Al-Kibritul Ahmar yang tidak lebih dari 23
halaman menuliskan satu bab khusus tentang aqidah ahlussunnah wal jama’ah. Dalam
buku tersebut beliau radhiyallahu ‘anhu menuliskan:
Aqidah
Ahlussunnah adalah sebagaimana terdapat dalam syair Syekh ‘Abdullah bin
As’ad Al-yafi’i.2Berikut beberapa bait syair Al-yafi’I yang disebutkan
oleh Habib ‘Abdullah Bin Al-aydarus
radhiyallahu ‘anhu:
Sebaik-baik masa adalah masa sahabat
Urutan yang terbaik di antara mereka
Adalah tepat seperti yang telah mereka tetapkan
Mereka semua bintang-bintang yang membawa petunjuk
Semuanya adil dan baik hati
Kemulian mereka telah dikenal dan tak dapat dipungkiri
Dari mereka semua Ash-Shiddiq-lah yang paling utama
Beliau seorang yang mulia
Sedangkan posisi keempat dalam kemuliaan
Dipegang oleh Haidar (Sayidina ‘Ali)
Yang memiliki keutamaan.4
B.
MADZHAB BANI ‘ALAWI
Imam Ahmad bin ‘Isa dan anak cucunya dikenal sebagai orang-orang
yang sangat berjasa di dalam penyebaran madzhab Syafi’I di Hadhramaut dan Asia.
Dalam ensiklopedia Britannica disebutkan:
Pada pertengahan abab 10 M karena berbagai gangguan yang terjadi di
Iraq, maka Ahmad bin ‘Isa Al-Muhajir melakukan perjalanan hijrah dan tiba di
Hadhramaut yang pada saat itu dikuasai oleh kaum Ibadhiah. Di sanalah
beliau mendirikan perumahan bagi para Sayyid ‘Alwi yang kemudian menjadi
orang-orang yang memajukan dan menyebarluaskan madzhab Syafi’I ke India,
Indonesia dan Afrika Timur.3
Madzhab Syafi’I tersebar luas di Yaman setelah tahun 340H. Al-Qadhi
Ath-Thayyib bin ‘Abdullah bin Ahmad Ba Makhramah dalam bukunya Qalaidun Nahr
berpendapat bahwa Imam Ahmad bin Isa telah berhasil menyebarkan madzhab Syafi’I
di Hadhramaut sebelum 340H.4 Artinya, hanya dalam kurun waktu kurang
lebih dua puluh tahun, Imam Ahmad bin ‘Isa telah berhasil merubah Hadhramaut
menjadi pusat penyebaran madzhab Syafi’i. Sebab, beliau tiba di Hadhramaut pada
tahun 320H dan wafat pada tahun 345H.
Dalam kitabnya Al-Juz’ul Lathif, Habib Abu Bakar Al-‘Adni
bin ‘Abdullah Al-Aydarus menulis:
Guruku, dan Ayahku, muhyiddin, ‘afifuddin, Asy-Syarif
Al-Husaini,’Abdullah bin Abu Bakar,
yang mendapat julukan Al-Aydarus, radhiyallahu ‘anhuma, jika
mengikat perjanjian dengan muridnya serta meminta mereka untuk
beristighfar,beliau menyebutkan sejumlah keyakinan dalam aqidah, seperti
beriman kepada Allah Subhanahu wa Taa’ala dan mensucikan-Nya, iman
kepada para Rasul, kepada semua kitab yang diturunkan Allah, kepada siksa kubur
dan pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir serta berbagai hal
lainnya yang tersebut dalam aqidah. Setelah itu beliau akan berkata kepada
muridnya tersebut:
Madzahab kami dalam furu’ adalah Madzhab Syafi’i, dalam ushul
(aqidah) adalah madzhab guru kami Al-Asy’ari dan Thariqah kami Thariqah-nya
para sufi.5
E.
BIOGRAFI IMAM AHMAD BIN ISA AL-MUHAJIR DAN SYEKH ABDULLAH AL-HADDAD
A. AHMAD BIN ISA AL-MUHAJIR
Imam Ahmad bin Isa al-Muhajir (selanjutnya Imam Ahmad) adalah
keturunan Nabi Muhammad SAW melalui garis Husein bin Sayyidina Ali bin Abi
Thalib atau Fathimah Azzahra binti Rasulullah SAW. Ia lahir di Basrah, Irak,
pada tahun 260 H. Ayahnya, Isa bin Muhammad, sudah lama dikenal sebagai orang
yang memiliki disiplin tinggi dalam beribadah dan berpengetahuan luas.
Mula-mula keluarga Isa bin Muhammad tinggal di Madinah, namun karena berbagai
pergolakan politik, ia kemudian hijrah ke Basrah dan Hadhramaut. Sejak kecil
hingga dewasanya Imam Ahmad sendiri lebih banyak ditempa oleh ayahnya dalam
soal spiritual. Sehingga kelak ia terkenal sebagai tokoh sufi. Bahkan oleh
kebanyakan para ulama pada masanya, Imam Ahmad dinyatakan sebagai tokoh yang
tinggi hal-nya (keadaan ruhaniah seorang sufi selama melakukan proses
perjalanan menuju Allah—red).
Selain itu, Imam Ahmad juga dikenal sebagai seorang saudagar kaya
di Irak. Tapi semua harta kekayaan yang dimilikinya tak pernah membuat Imam
Ahmad berhenti untuk beribadah, berdakwah, dan berbuat amal shaleh. Sebaliknya,
semakin ia kaya semakin intens pula aktivitas keruhanian dan sosialnya.
Selama di Basrah, Imam Ahmad sering sekali dihadapkan pada kehidupan yang tak menentu. Misalnya oleh berbagai pertikaian politik dan munculnya badai kedhaliman dan khurafat. Sadar bahwa kehidupan dan gerak dakwahnya tak kondusif di Basrah, pada tahun 317 H Imam Ahmad lalu memutuskan diri untuk berhijrah ke kota Hijaz. Dalam perjalanan hijrahnya ini, Imam Ahmad ditemani oleh istrinya, Syarifah Zainab binti Abdullah bin al-Hasan bin Ali al-Uraidhi, dan putra terkecilnya, Abdullah. Dan setelah itu ia kemudian hijrah ke Hadhramaut dan menetap di sana sampai akhir hayatnya. Tapi dalam sebuah riwayat lain disebutkan, sewaktu Imam Ahmad tinggal di Madinah Al-Munawarrah, ia pernah menghadapi pergolakan politik yang tak kalah hebat dengan yang terjadi di kota Basrah. Pada saat itu, tepatnya tahun 317 H, Mekkah mendapat serangan sengit dari kaum Qaramithah yang mengakibatkan diambilnya Hajar Aswad dari sisi Ka’bah. Sehingga pada tahun 318 H, tatkala Imam Ahmad menunaikan ibadah haji, ia sama sekali tidak mencium Hajar Aswad kecuali hanya mengusap tempatnya saja dengan tangan. Barulah setelah itu, ia pergi menuju Hadhramaut.
Selama di Basrah, Imam Ahmad sering sekali dihadapkan pada kehidupan yang tak menentu. Misalnya oleh berbagai pertikaian politik dan munculnya badai kedhaliman dan khurafat. Sadar bahwa kehidupan dan gerak dakwahnya tak kondusif di Basrah, pada tahun 317 H Imam Ahmad lalu memutuskan diri untuk berhijrah ke kota Hijaz. Dalam perjalanan hijrahnya ini, Imam Ahmad ditemani oleh istrinya, Syarifah Zainab binti Abdullah bin al-Hasan bin Ali al-Uraidhi, dan putra terkecilnya, Abdullah. Dan setelah itu ia kemudian hijrah ke Hadhramaut dan menetap di sana sampai akhir hayatnya. Tapi dalam sebuah riwayat lain disebutkan, sewaktu Imam Ahmad tinggal di Madinah Al-Munawarrah, ia pernah menghadapi pergolakan politik yang tak kalah hebat dengan yang terjadi di kota Basrah. Pada saat itu, tepatnya tahun 317 H, Mekkah mendapat serangan sengit dari kaum Qaramithah yang mengakibatkan diambilnya Hajar Aswad dari sisi Ka’bah. Sehingga pada tahun 318 H, tatkala Imam Ahmad menunaikan ibadah haji, ia sama sekali tidak mencium Hajar Aswad kecuali hanya mengusap tempatnya saja dengan tangan. Barulah setelah itu, ia pergi menuju Hadhramaut.
B. Syekh Abdullah al-Haddad
Nama lengkapnya Syekh Abdullah bin
Alwi al-Haddad atau Syekh Abdullah al-Haddad. Dalam sejarah Tarekat Alawiyyah,
nama al-Haddad ini tidak bisa dipisahkan, karena dialah yang banyak memberikan
pemikiran baru tentang pengembangan ajaran tarekat ini di masa-masa mendatang.
Ia lahir di Tarim, Hadhramaut pada 5 Safar 1044 H. Ayahnya, Sayyid Alwi bin
Muhammad al-Haddad, dikenal sebagai seorang yang saleh. Al-Haddad sendiri lahir
dan besar di kota Tarim dan lebih banyak diasuh oleh ibunya, Syarifah Salma,
seorang ahli ma’rifah dan wilayah (kewalian).
Peranan al-Haddad dalam mempopulerkan Tarekat Alawiyyah ke seluruh penjuru dunia memang tidak kecil, sehingga kelak tarekat ini dikenal juga dengan nama Tarekat Haddadiyyah. Peran al-Haddad itu misalnya, ia di antaranya telah memberikan dasar-dasar pengertian Tarekat Alawiyyah. Ia mengatakan, bahwa Tarekat Alawiyyah adalah Thariqah Ashhab al-Yamin, atau tarekatnya orang-orang yang menghabiskan waktunya untuk ingat dan selalu taat pada Allah dan menjaganya dengan hal-hal baik yang bersifat ukhrawi. Dalam hal suluk, al-Haddad membaginya ke dalam dua bagian.
Pertama, kelompok khashshah (khusus), yaitu bagi mereka yang sudah sampai pada tingkat muhajadah, mengosongkan diri baik lahir maupun batin dari selain Allah di samping membersihkan diri dari segala perangai tak terpuji hingga sekecil-kecilnya dan menghiasi diri dengan perbuatan-perbuatan terpuji. Kedua, kelompok ‘ammah (umum), yakni mereka yang baru memulai perjalanannya dengan mengamalkan serangkaian perintah-perintah as-Sunnah. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa Tarekat Alawiyyah adalah tarekat ‘ammah, atau sebagai jembatan awal menuju tarekat khashshah.
Karena itu, semua ajaran salaf Ba Alawi menekankan adanya hubungan seorang syekh (musryid), perhatian seksama dengan ajarannya, dan membina batin dengan ibadah. Amal shaleh dalam ajaran tarekat ini juga sangat ditekankan, dan untuk itu diperlukan suatu tarekat yang ajarannya mudah dipahami oleh masyarakat awam.
Al-Haddad juga mengajarkan bahwa hidup itu adalah safar (sebuah perjalanan menuju Tuhan). Safar adalah siyahah ruhaniyyah (perjalanan rekreatif yang bersifat ruhani), perjalanan yang dilakukan untuk melawan hawa nafsu dan sebagai media pendidikan moral. Oleh karena itu, di dalam safar ini, para musafir setidaknya membutuhkan empat hal. Pertama, ilmu yang akan membantu untuk membuat strategi, kedua, sikap wara’ yang dapat mencegahnya dari perbuatan haram. Ketiga, semangat yang menopangnya. Keempat, moralitas yang baik yang menjaganya.6
Peranan al-Haddad dalam mempopulerkan Tarekat Alawiyyah ke seluruh penjuru dunia memang tidak kecil, sehingga kelak tarekat ini dikenal juga dengan nama Tarekat Haddadiyyah. Peran al-Haddad itu misalnya, ia di antaranya telah memberikan dasar-dasar pengertian Tarekat Alawiyyah. Ia mengatakan, bahwa Tarekat Alawiyyah adalah Thariqah Ashhab al-Yamin, atau tarekatnya orang-orang yang menghabiskan waktunya untuk ingat dan selalu taat pada Allah dan menjaganya dengan hal-hal baik yang bersifat ukhrawi. Dalam hal suluk, al-Haddad membaginya ke dalam dua bagian.
Pertama, kelompok khashshah (khusus), yaitu bagi mereka yang sudah sampai pada tingkat muhajadah, mengosongkan diri baik lahir maupun batin dari selain Allah di samping membersihkan diri dari segala perangai tak terpuji hingga sekecil-kecilnya dan menghiasi diri dengan perbuatan-perbuatan terpuji. Kedua, kelompok ‘ammah (umum), yakni mereka yang baru memulai perjalanannya dengan mengamalkan serangkaian perintah-perintah as-Sunnah. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa Tarekat Alawiyyah adalah tarekat ‘ammah, atau sebagai jembatan awal menuju tarekat khashshah.
Karena itu, semua ajaran salaf Ba Alawi menekankan adanya hubungan seorang syekh (musryid), perhatian seksama dengan ajarannya, dan membina batin dengan ibadah. Amal shaleh dalam ajaran tarekat ini juga sangat ditekankan, dan untuk itu diperlukan suatu tarekat yang ajarannya mudah dipahami oleh masyarakat awam.
Al-Haddad juga mengajarkan bahwa hidup itu adalah safar (sebuah perjalanan menuju Tuhan). Safar adalah siyahah ruhaniyyah (perjalanan rekreatif yang bersifat ruhani), perjalanan yang dilakukan untuk melawan hawa nafsu dan sebagai media pendidikan moral. Oleh karena itu, di dalam safar ini, para musafir setidaknya membutuhkan empat hal. Pertama, ilmu yang akan membantu untuk membuat strategi, kedua, sikap wara’ yang dapat mencegahnya dari perbuatan haram. Ketiga, semangat yang menopangnya. Keempat, moralitas yang baik yang menjaganya.6
B.
PENGARUH BA’ALAWI DI INDONESIA
Gustav Lebon mengatakan, “Bahwa kami tidak melihat adanya suatu
bangsa yang mempunyai pengaruh yang nyata seperti bangsa Arab. Semua bangsa,
yang bangsa Arab berhubungan dengannya pasti mengikuti kebudayaan Arab. Ketika
bangsa Arab hilang dari panggung sejarah, maka para tirani berkuasa, seperti
bangsa Turki dan Mongol, atas tradisi- tradisi mereka”.
Menurut ‘Alwi bin Thahir Al-Haddad, memang benar bahwa kebudayaan
Arab telah mati, tetapi kini Dunia Islam yang membentang dari daerah-daerah
pesisir Samudra Atlantik hingga India, dan Laut Tengah hingga daerah padang
pasir, tidak dikenal kecuali sebagai pengikut Muhammad dan bahasanya. Para
Syarif dari Hadhramaut, dari keturunan Imam Ahmad bin Isa Al-Muhajir bin
Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Imam Ja’far Al-Shadiq, termasuk para da’i yang
menyebarkan agama Islam di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia.
Muhammad Ba Mathraf, seorang ahli sejarah Hadhramaut, melihat kaum
Ba ‘Alawi merupakan kelompok terbesar dari kabilah Hadhrami yang hijrah ke Asia
dan Afrika.
Adapun hasil nyata dalam penyiaran agama Islam (ke Indonesia)
adalah dari orang-orang Sayyid Syarif. Dengan perantara mereka agama Islam
tersiar diantara raja-raja Hindu di Jawa dan lainnya. Selain dari mereka ini,
walaupun ada juga suku-suku lain Hadhramaut (yang bukan golongan Sayyid
Syarif), tetapi mereka ini tidak meninggalkan pengaruh sebesar itu. Hal ini
disebabkan mereka (kaum Sayyid) adalah keturunan dari tokoh pembawa Islam (Nabi
Muhammad Saw).”
Van den Berg juga menulis dalam buku yang sama (hal 192-204) :
“Pada abad ke-15, di Jawa sudah terdapat penduduk bangsa Arab atau
keturunannya, yaitu sesudah masa kerajaan Majapahit yg kuat itu. Orang-orang
Arab bercampur-gaul dengan penduduk, dan sebagian mereka mempunyai
jabatan-jabatan tinggi. Mereka terikat dengan pergaulan dan kekeluargaan
tingkat atasan. Rupanya pembesar-pembesar Hindu di Kepulauan Hindia telah
terpengaruh oleh sifat-sifat keahlian Arab, oleh karena sebagian besar mereka
berketurunan pendiri Islam ( Nabi Muhammad Saw). Orang-orang Arab Hadhramaut
membawa kepada orang- orang Hindu pikiran baru yg diteruskan oleh
peranakan-peranakan Arab, mengikuti jejak nenek moyangnya.”
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam
budaya Nusantara, untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah
simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh
lain yang berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan
Kerajaan Islam di Jawa, dan jg pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat
secara luas serta dakwah secara langsung, membuat para Walisongo ini lebih
banyak disebut dibanding yang lain.
Para Walisongo adalah intelektual yg menjadi pembaharu masyarakat
pada masanya, keturunan mereka bersambung hingga Nabi Muhammad Saw (kecuali
Sunan Kali Jaga), dan masih ada hubungan keluarga dengan para syarif maupun sayyid
Hadhramaut.7
F.
THARIQAH ALAWIYYAH DI KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH
Habib Zain Al-Aydrus dari Surabaya merupakan
ulama yang menyebarkan tarikat ini di Kalimantan selatan, sekaligus sebagai
peletak dasarnya. Ajaran tarikat Alawiyah ini diambil dari berbagai macam
tarikat yang berkembang di Indonesia, oleh Habib zain Al-Aydrus amalan dan
ajaran tarikat-tarikat tersebut dipadukan, sehingga setelah mendapatkan restu dari para Habib
yang mengajarkan ajaran tarikat yang ada, seperti tarikat Sammaniyah,Naqsyabandiyah
dan sebagainya (tarikat mu’tabarah),
kemudian beliau menamakan tarikat ini dengan nama tarikat Alawiyah.
Di Kabupaten Hulu Sungai Tengah, ajaran ini disebarkan oleh
seoarang ulama yang cukup terkenal di daerah tersebut yaitu KH. Muhammad
Bachiet, putra dari pasangan Haji Ahmad Mughni (seorang tokoh ulama yang
berasal dari Nagara Kabupaten Hulu Sungai Selatan yang popular beliau disebut
dengan sebutan H. Amat Nagara) dan Hj. Zainab, dilahirkan pada tanggal 1
januari 1966 di Tela-ga Air Mata
(Kampung Arab). Beliau mempunyai seorang istri yang bernama Hj. Sakdiah dan
tiga orang anak.
Sebagai seorang ulama dan guru thariqah Alawiyyah, beliau juga
mengarang dua buah buku/kitab yang berkenaan dengan tasawuf, yaitu pertama,
kitab Nurul Muhibbin Fi Tarjamah Thariqat Al Arifin min Sadatina Al
Alawiyyin, yang membahas tentang ajaran-ajaran dan wirid yang harus
dilakukan oleh seorang jamaah thariqah Alawiyyah, Kedua, kitab Ampunan Tuhan
(Bagi Orang yang Tobat dari Dosa dan Kesalahan).
BAB II
AMALAN
Salah satu Amalan THARIQAH
‘ALAWIYYAH adalah
Rattib Al-Attas
اَلْفَاتِحَةُ اِلَى حَضْرَةِ النَّبِيِّ
مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ, اَعُوذُبِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ
الرَّجِيْمِ (بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ.اَلْحَمْدُلِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ...)
الخرسُوْرَةُ الْفَاتِحَة
اَعُوْذُبِا للهِ السَّمِيْعِ الْعَلِيْمِ
مِنَ الشَّيْطَا نِ الرَّجِيْمِ (ثَلاَثًا)
( لَوْاَنْزَلْنَا هَذَا الْقُرْآنَ عَلَى جَبَلٍ
لَرَاَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّعًا مِنْ خَشْيَةِ اللهِ وِتِلْكَ اْلاَمْثَالُ نَضْرِبُهَا
لِلنَاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ. هُوَاللهُ الَّذِيْ لاَاِلَهَ اِلاَّ هُوَعَالِمُ
اْلغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ هُوَالرَّحْمَنُ الرَّحِيْمُ هُوَاللهُ الَّذِيْ لآ اِلَهَ
اِلاَّ هُوَاْلمَلِكُ اْلقُدُّوْسُ السَّلاَمُ اْلمُؤْمِنُ اْلمُهَيْمِنُ اْلعَزِيْزُاْمجَبَارُ
اْلمُتَكَبِّرُ سُبْحَانَ اللهِ عَمَّايُشْرِ كُوْنَ هُوَاللهُ اْمخَالِقُ اْلبَارِئُ
اْلمُصَوِّرُلَهُ اْلاَسْمَاءُ اْمحُسْنَى يُسَبِّحُ لَهُ مَافِى السَّمَوَاتِ وِاْلاَرْضِ
وَهُوَ الْعَزِيْزُاْمحَكِيْمِ ) اَعُوْذُبِاللهِ السَّمِيْحِ اْلعَلِيْمِ مِنْ الشَّيْطَانِ
الرَّجِيْمِ (ثلاثا) اَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّا مَّاتِ مِنْ شَرِّمَا خَلَقَ
(ثلاثا) بِسْمِ اللهِ الَّذِيْ لاَيَضُرُّمَعَ اسْمِهِ شَىْءٌ فِى اْلاَرْضِ وَلاَفِى السَّمَاءِ وَهُوَ
السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ (ثلاثا) بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ.وَلاَحَوْلَ
وَلاَ قُوَّةَ اِلاَّبِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ (عَشْرًا) بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ
الرَّحِيْمِ (ثَلاَثًا) بِسْمِ اللهِ تَحَصَّنَّا بِاللهِ.بِسْمِ اللهِ تَوَكَّلْنَا
بِاللهِ (ثَلاَثًا) بِسْمِ اللهِ آمَنَّابِاللهِ. وَمَنْ يُؤْ مِنْ بِاللهِ لاَخَوْفٌ
عَلَيْهِ (ثَلاَثًا) سُبْحَانَ اللهِ عَزَّاللهِ. سُبْحَانَ اللهِ جَلَّ اللهِ (ثَلاَثًا)
سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ.سُبْحَانَ اللهِ الْعَظِيْمِ (ثَلاَثًا) سُبْحَانَ اللهِ
وَالْحَمْدُلِلَّهِ وَلآ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ اَكْبَرُ (اَرْبَعًا) يَالَطِيْفًا
بِخَلْقِهِ يَاعَلِيْمًا بِخَلْقِهِ يَاخَبِيْرًا بِخَلْقِهِ. اُلْطُفْ بِنَايَالَطِيْفُ,يَاعَلِيْمُ
يَاخَبِيْرً (ثلاثا) يَا لَطِيْفًا لَمْ يَزَلْ. اُلْطُفْ بِنَافِيْمَانَزَلْ اِنَّكَ
لَطِيْفٌ لَمْ تَزَلْ. اُلْطُفْ بِنَاوَ الْمُسْلِمِيْنَ (ثَلاَثًا) لآ اِلَهَ اِلاَّ
اللهُ (اَرْبَعِيْنَ مَرَّةً) مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ
وَسَلَّمَ. حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ (سبعا) اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَّى
مُحَمَّدٍ. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ (عَشْرًا) اَسْتَغْفِرَاللهَ (اا مَرَّةً). تَائِبُوْنَ اِلَى اللهِ (ثَلاَثًا) يَااَللهُ بِهَا.يَااَللهُ بِهَا يَااَللهُ بِحُسْنِ اْلخَاتِمَةِ (ثَلاَثً) غُفْرَا نَكَ رَبَّنَا وَاِلَيْكَ اْلمَصِيْرُ لاَيُكَلِفُ اللهُ نَفْسًا اِلاَّ وُسُعَهَا لَهَا مَا اكَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكَتَسَبَتْ رَبَّنَا لاَ تُؤَا خِذْنَا اِنْ نَسِيْنَا اَوْاَخْطَأْ نَا رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا اِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَا لاَ طَا قَةَلَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْلَنَا وَارْحَمْنَا اَنْتَ مَوْلاَ نَا فَانْصُرْنَا عَلَى اْلقَوْمِ اْلكَا فِرِيْنَ
اَلْفَاتِحَةُ اِلَى رُوْحِ سَيِّدِنَاوَ حَبِيْبِنَاوَ شَفِيْعِنَ رَسُوْلِ اللهِ , مُحَمَّدِ بِنْ عَبْدِاللهِ , وَاَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَاَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ , اَنَّ اللهَ يُعْلىِ دَرَجَاتِهِمْ فِى اْلْجَنَّةِ وَ يَنْفَعُنَا بِاَسْرَارِ هِمْ وَاَنْوَارِهِمْ وَعُلُوْمِهِمْ فِى الدِّ يْنِ وَالدُّنْيَا وَاْلآ خِرَةِ وَيَجْعَلُنَا مِنْ حِزْ بِهِمْ وَيَرْزُ قُنَا مَحَبَّتَهُمْ وَيَتَوَفَّانَا عَلَى مِلَّتِهِمْ وَيَحْشُرُنَافِى زُمْرَ تِهِمْ . فِى خَيْرٍ وَ لُطْفٍ وَعَافِيَةٍ , بِسِرِ الْفَا تِحَةْ اَلْفَاتِحَةُ اِلَى رُوْحِ سَيِّدِنَا الْمُهَا جِرْ اِلَى اللهِ اَحْمَدْ بِنْ عِيْسَى وَاِلَى رُوْحِ سَيِّدِنَااْلاُ سْتَاذِ اْلاَعْظَمِ اَلْفَقِيْهِ الْمُقَدَّمِ , مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيّ بَاعَلَوِيْ وَاُصُوْلِهِمْ وَفُرُوْعِهِمْ , وَذَوِىْ الْحُقُوْقِ عَلَيْهِمْ اَجْمَعِيْنَ اَنَّ اللهَ يَغْفُرُ لَهُمْ وَيَرْ حَمُهُمْ وَيُعْلِيْ دَرَجَاتِهِمْ فِى الْجَنَّةِ , وَيَنْفَعُنَا بِاَسْرَارِهِمْ وَاَنْوَارِهِمْ وَعُلُوْ مِهِمْ فِى الدِّ يْنِ وَالدُّنْيَاوَاْلاَخِرَةِ . اَلْفَا تِحَةُ اَلْفَاتِحَةُ اِلَى رُوْحِ سَيِّدِنَا وَحَبِيْبِنَا وَبَرَكَاتِنَا صَاحِبِ الرَّاتِبِ قُطْبِ اْلاَنْفَاسِ اَلْحَبِيْبِ عُمَرْ بِنْ عَبْدِالرَّحْمَنِ الْعَطَّاسْ , ثُمَّ اِلَى رُوْحِ الشَّيْخِ عَلِيِّ بْنِ عَبْدِ اللهِ بَارَاسْ , ثُمَّ اِلَى رُوْحِ اَلْحَبِيْب عَبْدُالرَّحْمَنِ بِنْ عَقِيْل اَلْعَطَّاسْ , ثُمَّ اِلَى رُوْحِ اَلْحَبِيْب حُسَيْن بِنْ عُمَرْ اَلْعَطَّاسْ وَاِخْوَانِهِ ثُمَّ اِلَى رُوْحِ عَقِيْل وَعَبْدِ اللهِ وَصَا لِحْ بِنْ عَبْدُالرَّحْمَنِ اَلْعَطَّاسْ ثُمَّ اِلَى رُوْحِ اَلْحَبِيْب عَلِيِّ بْنِ حَسَنْ اَلْعَطَّاسْ ثُمَّ اِلَى رُوْحِ اَلْحَبِيْب اَحْمَدْ بِنْ حَسَنْ اَلْعَطَّاسْ وَاُصُوْلِهِمْ وَفُرُوْعِهِمْ وَذَوِى الْحُقُوْقِ عَلَيْهِمْ اَجْمَعِيْنَ اَنَّاللهَ يَغْفِرُ لَهُمْ وَيَرْ حَمُهُمْ وَيُعْلِى دَرَجَا تِهِمْ فِى الْجَنَّةِ وَيَنْفَعُنَا بِاَسْرَارِهِمْ وَاَنْوَارِهِمْ وَعُلُوْ مِهِمْ وَنَفَحَا تِهِمْ فِى الدِّ يِنِ وَالدُّ نْيَاوَاْلآخِرَةِ )اَلْفَا تِحَةْ(
اَلْفَاتِحَةُ اِلَى اَرْوَحِ اْلاَوْالِيَاءِ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّا لِحِيْنَ . وَاْلاَ ئِمَّةِ الرَّاشِدِ يْنَ وَاِلَى اَرْوَاحِ وَالِدِيْنَا وَمَشَا يِخِنَا وَذَوِى الْحُقُوْقِ عَلَيْنَا وَعَلَيْهِمْ اَجْمَعِيْنَ , ثُمَّ اِلَى اَرْوَاحِ اَمْوَاتِ اَهْلِ هَذِهِ الْبَلْدَةِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ وَ الْمُسْلِمَاتِ اَنَّ اللهَ يَغْفِرُلَهُمْ وَيَرْحَمُهُمْ وَيُعْلِى دَرَجَاتِهِمْ فِى الْجَنَّةِ وَيُعِيْدُ عَلَيْنَا مِنْ اَسْرَ ارِهِمْ وَانْوَ ارِهِمْ وَعُلُوْ مِهِمْ وَبَرَكَاتِهِمْ فِى الدِّ يْنِ وَالدُّ نْيَا وَاْلآ خِرَةِ . اَلْفَاتِحَةْ.
اَلْفَاتِحَةُ بِالْقَبُوْلِ وَتَمَامِ كُلِّ سُوْلٍ وَمَأْمُوْلٍ وَصَلاَحِ الشَّأْنِ ظَا هِرًا وَبَا طِنًافِى الدِّيْنِ وَالدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ دَافِعَةً لِكُلِّ شَرٍّجَالِبَةً لِكُلِّ خَيْرٍ , لَنَا وَلِوَ الِدِيْنَا وَاَوْلاَدِنَاوَاَحْبَا بِنَا وَمَشَا ئِخِنَا فِى الدِّ يْنِ مَعَ اللُّطْفِ وَالْعَا فِيَةِ وَعَلَى نِيَّةِ اَنَّ اللهَ يُنَوِّرُ قُلُوْ بَنَا وَقَوَ الِبَنَا مَعَ الْهُدَى وَالتَّقَى وَالْعَفَافِ وَالْغِنَى . وَالْمَوْتِ عَلَى دِيْنِ اْلاِسَلاَمِ وَاْلاِ يْمَانِ بِلاَ مِحْنَةٍ وَلاَ اِمْتِحَانٍ , بِحَقِّ سَيِّدِ نَاوَلَدِ عَدْ نَانِ , وَعَلَى كُلِّ نِيَّةٍ صَالِحَةٍ .وَاِلَى حَضْرَةِ النَِّبيِّ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ (اَلْفَاتِحَةْ)
بِسْمِ اللهِ الرَّ حْمَنِ الرَّ حِيْمِ. اَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَا لَمِيْنَ حَمْدًا يُوَافِى نِعَمَهُ وَيُكَافِىءُ مَزِيْدَهُ, يَا رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِىْ لِجَلاَلِ وَجْهِكَ وَعَظِيْمِ سُلْطَا نِكْ, سُبْحَا نَكَ لاَ نُحْصِيْ ثَنَا ءً عَلَيْكَ اَنْتَ كَمَا اَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ, فَلَكَ الْحَمْدُ حَتىَّ تَرْضَى, وَلَكَ الْحَمْدُ اِذَارَضِيْتَ, وَلَكَ الْحَمْدُ بَعْدَ الرِّضَى. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ فِى اْلاَوَّلِيْنَ وَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنّا مُحَمَّدٍ فِى اْلآ خِرِيْنَ وَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ فِى كُلِّ وَقْتٍ وَحِيْنٍ, وَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ فِى الْمَلَإِ اْلاَ عْلَى اِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ, وَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ حَتىَّ تَرِثَ اْلاَرْضَ وَمَنْ عَلَيْهَا وَاَنْتَ خَيْرُ الْوَارِثِيْنَ. اَللَّهُمَّ اِنَّا نَسْتَحْفِظُكَ وَنَسْتَوْ دِعُكَ اَدْيَا نَنَا وَاَنْفُسَنَا وَاَمْوَ الَنَا وَاَهْلَنَا وَكُلَّ ثَيْءٍ اَعْطَيْتَنَا. اَللَّهُمَّ اجْعَلْنَا وَاِيَّا هُمْ فِى كَنَفِكَ وَاَمَانِكَ وَعِيَاذِكَ, مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ مَرِيْدٍ وَجَبَّارٍ عَنِيْدٍ وَذِىْ عَيْنٍ وَذِيْ بَغْيٍ وَذِيْ حَسَدٍ وَمِنْ شَرِّ كَلِّ ذِيْ شَرٍّ, اِنَّكَ عَلَى كُلِّ شّيْىءٍ قَدِيْرُ. اَللَّهُمَّ جَمِّلْنَا بِالْعَا فِيَةِ وَالسَّلاَ مَةِ, وَحَقِقْنَا بِااتَقْوَى وَاْلاِسْتِقَامَةِ وَاِعِذْنَا مِنْ مُوْ جِبَا تِ النَّدَا مَةِفِى اْلحَالِ وَاْلمَالِ, اِنَّكَ سَمِيْعُ الدُّعَاءِ. وَصَلِّ اللَّهُمَّ بِجَلاَلِكَ وَجَمَالِكَ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ اَجْمَعِيْنَ, وَارْزُقْنَا كَمَالَ اْلمُتَا بَعَةِ لَهُ ظَا هِرًا وَبَا طِنًا يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ, بِفَضْلِ سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ اْلعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ. وَسَلاَمُ عَلَى اْلمُرْسَلِيْنَ وَلْحَمْدُلِلَّهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ.
اَلْفَاتِحَةُ اِلَى رُوْحِ سَيِّدِنَاوَ حَبِيْبِنَاوَ شَفِيْعِنَ رَسُوْلِ اللهِ , مُحَمَّدِ بِنْ عَبْدِاللهِ , وَاَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَاَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ , اَنَّ اللهَ يُعْلىِ دَرَجَاتِهِمْ فِى اْلْجَنَّةِ وَ يَنْفَعُنَا بِاَسْرَارِ هِمْ وَاَنْوَارِهِمْ وَعُلُوْمِهِمْ فِى الدِّ يْنِ وَالدُّنْيَا وَاْلآ خِرَةِ وَيَجْعَلُنَا مِنْ حِزْ بِهِمْ وَيَرْزُ قُنَا مَحَبَّتَهُمْ وَيَتَوَفَّانَا عَلَى مِلَّتِهِمْ وَيَحْشُرُنَافِى زُمْرَ تِهِمْ . فِى خَيْرٍ وَ لُطْفٍ وَعَافِيَةٍ , بِسِرِ الْفَا تِحَةْ اَلْفَاتِحَةُ اِلَى رُوْحِ سَيِّدِنَا الْمُهَا جِرْ اِلَى اللهِ اَحْمَدْ بِنْ عِيْسَى وَاِلَى رُوْحِ سَيِّدِنَااْلاُ سْتَاذِ اْلاَعْظَمِ اَلْفَقِيْهِ الْمُقَدَّمِ , مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيّ بَاعَلَوِيْ وَاُصُوْلِهِمْ وَفُرُوْعِهِمْ , وَذَوِىْ الْحُقُوْقِ عَلَيْهِمْ اَجْمَعِيْنَ اَنَّ اللهَ يَغْفُرُ لَهُمْ وَيَرْ حَمُهُمْ وَيُعْلِيْ دَرَجَاتِهِمْ فِى الْجَنَّةِ , وَيَنْفَعُنَا بِاَسْرَارِهِمْ وَاَنْوَارِهِمْ وَعُلُوْ مِهِمْ فِى الدِّ يْنِ وَالدُّنْيَاوَاْلاَخِرَةِ . اَلْفَا تِحَةُ اَلْفَاتِحَةُ اِلَى رُوْحِ سَيِّدِنَا وَحَبِيْبِنَا وَبَرَكَاتِنَا صَاحِبِ الرَّاتِبِ قُطْبِ اْلاَنْفَاسِ اَلْحَبِيْبِ عُمَرْ بِنْ عَبْدِالرَّحْمَنِ الْعَطَّاسْ , ثُمَّ اِلَى رُوْحِ الشَّيْخِ عَلِيِّ بْنِ عَبْدِ اللهِ بَارَاسْ , ثُمَّ اِلَى رُوْحِ اَلْحَبِيْب عَبْدُالرَّحْمَنِ بِنْ عَقِيْل اَلْعَطَّاسْ , ثُمَّ اِلَى رُوْحِ اَلْحَبِيْب حُسَيْن بِنْ عُمَرْ اَلْعَطَّاسْ وَاِخْوَانِهِ ثُمَّ اِلَى رُوْحِ عَقِيْل وَعَبْدِ اللهِ وَصَا لِحْ بِنْ عَبْدُالرَّحْمَنِ اَلْعَطَّاسْ ثُمَّ اِلَى رُوْحِ اَلْحَبِيْب عَلِيِّ بْنِ حَسَنْ اَلْعَطَّاسْ ثُمَّ اِلَى رُوْحِ اَلْحَبِيْب اَحْمَدْ بِنْ حَسَنْ اَلْعَطَّاسْ وَاُصُوْلِهِمْ وَفُرُوْعِهِمْ وَذَوِى الْحُقُوْقِ عَلَيْهِمْ اَجْمَعِيْنَ اَنَّاللهَ يَغْفِرُ لَهُمْ وَيَرْ حَمُهُمْ وَيُعْلِى دَرَجَا تِهِمْ فِى الْجَنَّةِ وَيَنْفَعُنَا بِاَسْرَارِهِمْ وَاَنْوَارِهِمْ وَعُلُوْ مِهِمْ وَنَفَحَا تِهِمْ فِى الدِّ يِنِ وَالدُّ نْيَاوَاْلآخِرَةِ )اَلْفَا تِحَةْ(
اَلْفَاتِحَةُ اِلَى اَرْوَحِ اْلاَوْالِيَاءِ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّا لِحِيْنَ . وَاْلاَ ئِمَّةِ الرَّاشِدِ يْنَ وَاِلَى اَرْوَاحِ وَالِدِيْنَا وَمَشَا يِخِنَا وَذَوِى الْحُقُوْقِ عَلَيْنَا وَعَلَيْهِمْ اَجْمَعِيْنَ , ثُمَّ اِلَى اَرْوَاحِ اَمْوَاتِ اَهْلِ هَذِهِ الْبَلْدَةِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ وَ الْمُسْلِمَاتِ اَنَّ اللهَ يَغْفِرُلَهُمْ وَيَرْحَمُهُمْ وَيُعْلِى دَرَجَاتِهِمْ فِى الْجَنَّةِ وَيُعِيْدُ عَلَيْنَا مِنْ اَسْرَ ارِهِمْ وَانْوَ ارِهِمْ وَعُلُوْ مِهِمْ وَبَرَكَاتِهِمْ فِى الدِّ يْنِ وَالدُّ نْيَا وَاْلآ خِرَةِ . اَلْفَاتِحَةْ.
اَلْفَاتِحَةُ بِالْقَبُوْلِ وَتَمَامِ كُلِّ سُوْلٍ وَمَأْمُوْلٍ وَصَلاَحِ الشَّأْنِ ظَا هِرًا وَبَا طِنًافِى الدِّيْنِ وَالدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ دَافِعَةً لِكُلِّ شَرٍّجَالِبَةً لِكُلِّ خَيْرٍ , لَنَا وَلِوَ الِدِيْنَا وَاَوْلاَدِنَاوَاَحْبَا بِنَا وَمَشَا ئِخِنَا فِى الدِّ يْنِ مَعَ اللُّطْفِ وَالْعَا فِيَةِ وَعَلَى نِيَّةِ اَنَّ اللهَ يُنَوِّرُ قُلُوْ بَنَا وَقَوَ الِبَنَا مَعَ الْهُدَى وَالتَّقَى وَالْعَفَافِ وَالْغِنَى . وَالْمَوْتِ عَلَى دِيْنِ اْلاِسَلاَمِ وَاْلاِ يْمَانِ بِلاَ مِحْنَةٍ وَلاَ اِمْتِحَانٍ , بِحَقِّ سَيِّدِ نَاوَلَدِ عَدْ نَانِ , وَعَلَى كُلِّ نِيَّةٍ صَالِحَةٍ .وَاِلَى حَضْرَةِ النَِّبيِّ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ (اَلْفَاتِحَةْ)
بِسْمِ اللهِ الرَّ حْمَنِ الرَّ حِيْمِ. اَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَا لَمِيْنَ حَمْدًا يُوَافِى نِعَمَهُ وَيُكَافِىءُ مَزِيْدَهُ, يَا رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِىْ لِجَلاَلِ وَجْهِكَ وَعَظِيْمِ سُلْطَا نِكْ, سُبْحَا نَكَ لاَ نُحْصِيْ ثَنَا ءً عَلَيْكَ اَنْتَ كَمَا اَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ, فَلَكَ الْحَمْدُ حَتىَّ تَرْضَى, وَلَكَ الْحَمْدُ اِذَارَضِيْتَ, وَلَكَ الْحَمْدُ بَعْدَ الرِّضَى. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ فِى اْلاَوَّلِيْنَ وَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنّا مُحَمَّدٍ فِى اْلآ خِرِيْنَ وَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ فِى كُلِّ وَقْتٍ وَحِيْنٍ, وَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ فِى الْمَلَإِ اْلاَ عْلَى اِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ, وَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ حَتىَّ تَرِثَ اْلاَرْضَ وَمَنْ عَلَيْهَا وَاَنْتَ خَيْرُ الْوَارِثِيْنَ. اَللَّهُمَّ اِنَّا نَسْتَحْفِظُكَ وَنَسْتَوْ دِعُكَ اَدْيَا نَنَا وَاَنْفُسَنَا وَاَمْوَ الَنَا وَاَهْلَنَا وَكُلَّ ثَيْءٍ اَعْطَيْتَنَا. اَللَّهُمَّ اجْعَلْنَا وَاِيَّا هُمْ فِى كَنَفِكَ وَاَمَانِكَ وَعِيَاذِكَ, مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ مَرِيْدٍ وَجَبَّارٍ عَنِيْدٍ وَذِىْ عَيْنٍ وَذِيْ بَغْيٍ وَذِيْ حَسَدٍ وَمِنْ شَرِّ كَلِّ ذِيْ شَرٍّ, اِنَّكَ عَلَى كُلِّ شّيْىءٍ قَدِيْرُ. اَللَّهُمَّ جَمِّلْنَا بِالْعَا فِيَةِ وَالسَّلاَ مَةِ, وَحَقِقْنَا بِااتَقْوَى وَاْلاِسْتِقَامَةِ وَاِعِذْنَا مِنْ مُوْ جِبَا تِ النَّدَا مَةِفِى اْلحَالِ وَاْلمَالِ, اِنَّكَ سَمِيْعُ الدُّعَاءِ. وَصَلِّ اللَّهُمَّ بِجَلاَلِكَ وَجَمَالِكَ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ اَجْمَعِيْنَ, وَارْزُقْنَا كَمَالَ اْلمُتَا بَعَةِ لَهُ ظَا هِرًا وَبَا طِنًا يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ, بِفَضْلِ سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ اْلعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ. وَسَلاَمُ عَلَى اْلمُرْسَلِيْنَ وَلْحَمْدُلِلَّهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ.
KESIMPULAN
Dikalangan Ba’Alawi, kata tarekat dipahami
sebagai suatu
suluk (cara ibadah) yg dilakukan oleh seseorang yang dipandang mempunyai
kredibilitas sebagai tokoh. Ketokohan disini terkait dalam
masalah-masalah
keagamaan dan hubungannya dengan masalah-masalah kemasyarakatan secara
luas.
Karena itu, semua ajaran salaf Ba Alawi
menekankan adanya
hubungan seorang syekh (musryid), perhatian seksama dengan ajarannya,
dan
membina batin dengan ibadah. Amal shaleh dalam ajaran tarekat ini juga
sangat
ditekankan, dan untuk itu diperlukan suatu tarekat yang ajarannya mudah
dipahami oleh masyarakat awam.
Al-Haddad juga
mengajarkan bahwa hidup itu adalah safar (sebuah
perjalanan menuju Tuhan). Safar adalah siyahah ruhaniyyah (perjalanan
rekreatif
yang bersifat ruhani), perjalanan yang dilakukan untuk melawan hawa
nafsu dan
sebagai media pendidikan moral. Oleh karena itu, di dalam safar ini,
para
musafir setidaknya membutuhkan empat hal. Pertama, ilmu yang akan
membantu
untuk membuat strategi, kedua, sikap wara’ yang dapat mencegahnya dari
perbuatan haram. Ketiga, semangat yang menopangnya. Keempat, moralitas
yang
baik yang menjaganya.
DAFTAR PUSTAKA
1. UMAR,
IBRAHIM,THARIQAH ALAWIYYAH,2001,Mizan
2. NOVEL
BIN MUHAMMAD ALAYDRUS, JALAN NAN LURUS, Taman Ilmu, 2006
3. SAHRIANSYAH,
PROFIL TARIKAT DI KALIMANTAN SELATAN, Antasari Press, 2009
4. http://www.sufinews.com/index.php/Thoriqoh/tarekat-alawiyyah/Halaman-2.suf http://www.iqra.net/site/RatibAlHaddadArabic
http://www.alhawi.net/ratib_al.htm
http://www.alhawi.net/ratib_al.htm
5.
http://www.bamah.net/2011/05/thariqah-%E2%80%98alawiyyah
6. http://www.majelisrasulullah.org/index.php?option=com_simpleboard&Itemid=5&func=view&id=24052&catid=10
0 komentar:
Posting Komentar